Sabtu, 09 Januari 2010

Televisi Jaringan Akan Rugikan Televisi Swasta Nasional

JAKARTA, SUARA PEMBARUAN – Rencana penerapan sistem televisi jaringan dengan melepaskan kepemilikan stasiun relai, dinilai kalangan industri dan pengamat televisi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Stasiun televisi swasta pun menarik napas lega dengan adanya penundaan penerapan sistem stasiun jaringan ini hingga 28 Desember 2009.

Menurut Pengamat Televisi, Veven SP Wardhana, keputusan pemerintah tersebut, seperti disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh, akan merugikan stasiun televisi swasta yang sejak awal beroperasi telah melakukan siaran secara nasional.

“Karena sejak awal beroperasi mereka telah menyiapkan biaya untuk siaran secara nasional. Kalau sampai sistem televisi jaringan ini diberlakukan, maka otomatis mereka harus mengerem dan mengubah kalkulasi cost yang harus mereka keluarkan. Misalnya kalau dari awal mereka sudah menyiapkan 100, tapi sekarang diminta hanya 50 saja, maka biaya 50 yang telah mereka keluarkan pada awalnya akan menjadi sia-sia,” tuturnya ketika dihubungi SP, akhir pekan lalu.

Kebijakan tersebut, jelas Veven, dapat sukses diterapkan pada stasiun televisi di luar negeri, karena stasiun televisi di sana sejak awal berdiri hanya disiarkan secara lokal. Sehingga memudahkan mereka untuk berjaringan dengan stasiun-stasiun televisi lokal lainnya.

“Di luar negeri, kerjasama itu telah dimulai sejak mereka beroperasi sebagai televisi lokal. Kerjasama itu pun akan sama-sama menguntungkan, karena mereka sama-sama membutuhkan bantuan, serta sama-sama membutuhkan sinergi dana, teknologi, dan lain-lain,” imbuhnya.

Alasan pemerintah menerapkan sistem televisi jaringan demi memanfaatkan sumber daya manusia di daerah, menurut Veven, hanya merupakan sebuah alasan politis. Sebab, apakah pemerintah bisa menjamin, bahwa produksi lokal benar-benar hanya akan bermuatan lokal.

“Kalau dari televisi lokal tapi isinya film-film India, atau Thailand juga apakah itu juga bisa disebut sebagai bermuatan lokal? Lagipula apakah semua muatan lokal dibutuhkan oleh masyarakat lokal? Kan belum tentu,” ujarnya.

Contohnya, jelas Veven, stasiun TVRI dulu bersaing dengan stasiun televisi lokal. Dan manakala TVRI menayangkan program musik, sedangkan televisi lokal menayangkan acara kesenian tradisional, ternyata masyarakat di sana lebih memilih menonton siaran musik di TVRI. Nah logika seperti ini tidak ada dalam pemahaman para perumus undang-undang itu,” tegasnya.


Daerah Belum Siap

Veven mengatakan, sebelum menjalankan sistem ini, sebaiknya dilihat dulu kesiapan dari masing-masing daerah, serta kebutuhan mereka. Sebab, hal ini juga menyangkut masalah kepentingan bisnis dari para stasiun televisi swasta.

“Jangan sampai undang-undang itu membuat stasiun televisi nasional mensubsidi televisi lokal yang tidak memiliki kemampuan, kecuali punya gedung. Kalau pun dipaksakan maka akan menjadi modal yang tidak berimbang, dimana stasiun televisi nasional akan mencurahkan modal begitu besar bagi televisi lokal yang sebetulnya tidak menguntungkan mereka, misalnya dari segi iklan. Karena orang iklan tentu pikir panjang kalau mau pasang iklan di televisi yang hanya akan ditonton oleh masyarakat di daerah tersebut,” katanya.

Hal senada juga dikatakan, Corporate Secretary Stasiun Televisi RCTI, Gilang Iskandar. Menurutnya sistem televisi jaringan tidak mungkin dilaksanakan, karena terdapat banyak kendala.

“Di antaranya masalah legal, teknis, keuangan, dan operasional. Jadi kalau aturan yang mengatur masalah tersebut belum siap, maka kita pun belum siap melaksanakannya,” katanya.

Dari segi izin siaran, kata Gilang, apakah saat stasiun televisi nasional membentuk badan hukum baru, maka semua izin yang telah mereka miliki di stasiun relai secara otomatis akan diakui, seperti izin usaha, frekuensi, dan lain-lain.

“Masalah yang lebih prinsip lagi adalah apakah bisa undang-undang berlaku mundur?, karena televisi nasional kan lahir sebelum undang-undang ini ada, maka hal itu akan menjadi masalah serius bagi pihak-pihak yang sudah go public seperti SCTV, dan Indosiar, karena kalau mereka memecah aset kan bisa jadi pidana,” jelasnya.

Menurut Gilang, jika alasan penerapan sistem televisi jaringan hanya menyangkut masalah keragaman isi, akan menjadi lebih mudah. Asalkan tidak menyinggung masalah keragaman kepemilikan.

“Tapi kalau juga merembet ke masalah pendirian badan hukum atau diversity of ownership itu akan lebih sulit, karena juga akan menyangkut masalah aset yang sudah diagunkan ke pihak ketiga,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut Gilang, stasiun televisi di Indonesia juga memiliki transformer yang terbatas. Sehingga jika sistem televisi jaringan diterapkan akan dibutuhkan lebih banyak transformer.

“Saat ini ada 10 televisi nasional dengan 33 provinsi di Indonesia, berarti dibutuhkan 330 transformer, kita punya nggak transformer sebanyak itu? Kalau pun ada costnya pasti akan sangat tinggi sekali, maka kalau sampai sistem ini dipaksakan untuk diterapkan bisa bubar industri televisi kita,” katanya.

Gilang mengatakan, untuk memanfaatkan sumber daya lokal, tak harus dengan pelaksanaan televisi jaringan. Tapi cukup dengan mendirikan biro-biro lokal untuk menyiarkan siaran lokal.


Buah Simalakama

Sementara itu, stasiun televisi Indosiar seperti disampaikan Direktur Utama PT Indosiar Visual Mandiri, Handoko, menyatakan telah mendirikan televisi jaringan di Surabaya (PT Indosiar Surabaya TV) dan Yogyakarta (PT Indosiar Yogyakarta TV). Hal itu hanya sebagai upaya untuk menjalankan undang-undang.

“Tapi undang-undang menyebutkan bergantung pada kesiapan daerah. Jadi tak mutlak sekaligus dilakukan di semua daerah. Kalau tidak dilaksanakan kan tidak benar, kami bisa dipenjara dua tahun,” ujarnya.

Dalam perbincangan dengan SP, beberapa waktu lalu, Handoko menyiratkan, pelaksanaan peraturan tersebut ibarat makan buah simalakama bagi kalangan industri televisi swasta nasional. Jika tidak dilaksanakan akan dianggap melanggar undang-undang. Namun jika dilaksanakan, terbayang kerugian yang akan mereka terima.

“Untuk skala ekonomi, jadi masalah. Iklan di daerah tidak ada. Siapa yang mau pasang iklan untuk Padang saja, atau Yogyakarta saja. Additional cost dan additional income tidak masuk. Masalahnya siapa yang menyubsidi siapa. Jika televisi lokal mau membangun menara dan studio, berapa uang yang akan keluar?,” ungkap Handoko.

Misalnya saja, lanjut Handoko, jika Indosiar akan membeli sinetron untuk televisi Yogyakarta dengan harga per jam Rp 250 juta. Pihaknya akan sulit untuk mencari pemasang iklan yang bersedia beriklan di siaran tersebut.

“Siapa yang mau pasang iklan cuma untuk skala Yogyakarta? Sementara produknya diedarkan secara nasional. Kalau sudah begitu iklannya dari mana?,” tandasnya. (http://arsip.televisiana.net/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar